Salah satu aspek penting dari masyarakat Indonesia adalah mengenai mitos yang dianggap sebagai ibrah bermanfaat bagi generasi berikutnya. Salah satu hal yang banyak diceritakan sebagai mitos adalah hubungan antara manusia dan Bumi. Percaya atau tidak, hal tersebut menyebabkan munculnya satu ranting ilmu dalam lingkup ilmu kebumian yang memanfaatkan mitos atau legenda untuk mempelajari bumi dan kejadian masa lalu. Ilmu tersebut dikenal dengan istilah “Geomitologi” yang dicetuskan pertama kali oleh Ahli geologi Dorothy Vitaliano dari Universitas Indiana pada tahun 1968. Vitaliano menyadari bahwa tradisi lisan yang berkembang di masyarakat mungkin menyimpan informasi tentang peristiwa alam yang terjadi di masa lalu berdasarkan bukti fisik. Lantas, apakah di Indonesia juga memiliki cerita atau mitos yang dapat ditangani melalui pendekatan geomitologi?

Sebelum sampai di sana, istilah geomitologi sebenarnya kurang dikenal di masyarakat Indonesia. Istilah ini menjadi populer seiring dengan perkembangan ilmu kebumian. Indonesia, sebuah negara yang memiliki budaya, tampaknya memiliki banyak mitos yang dapat dipahami ibrahnya melalui ilmu geomitologi. Salah satu legenda yang paling populer adalah “Nyi Roro Kidul” tentang “Ratu Poseidon Laut Selatan Jawa”, yang dikaitkan dengan kemungkinan Tsunami yang akan terjadi di Pantai Selatan Jawa. Dr. Eko Yulianto, seorang peneliti paleotsunami di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengatakan bahwa adanya bukti dari tsunami yang terjadi kira-kira empat abad yang lalu. Hasil penelitian ternyata bertepatan dengan periode awal Kerajaan Mataram Islam.

Pada Babad Tanah Jawi, Panembahan Senopati bertapa di Pantai Selatan sebelum mendirikan Mataram Islam untuk meminta bantuan kekuatan dari Sang Ratu Kidul. Saat ini lokasi pertemuan Panembahan Senopati dan Ratu Kidul adalah Cepuri Parangkusumo (Gambar 1). Setelah pertapaan, gelombang besar menghantam pesisir di mana Swargi Panembahan bertapa. Oleh karena itu, Panembahan Senopati percaya bahwa gelombang besar itu merupakan restu dari Sang Ratu Kidul agar Mataram Islam dapat berdiri. Dalam ilmu kebumian, istilah untuk gelombang tinggi ini adalah tsunami. Jika tidak ada penelitian sebelumnya oleh Dr. Eko Yulianto, ini akan menjadi “cocokologi ngawur”.

Gambar 1. Jajaran Batu di Cepuri Parangkusumo, lokasi Pertemuan Panembahan Senopati dan Ratu Kidul (Sumber : https://travel.detik.com/domestic-destination/d-3172860/kisah-mitos-batu-cinta-ratu-kidul-di-pantai-parangkusumo-bantul).

Banyak mitos dan legenda lain yang mungkin terkait dengan peristiwa masa lalu juga. Beberapa di antaranya adalah legenda Timus Mas dan Buto Ijo, yang menurut Awang H. Satyana terkait dengan fenomena Gunung Lumpur (Joint Convention Bali, 2007), legenda Balung Buto yang ditemukan di daerah Sangiran dan Patiayam dan dikaitkan dengan fosil binatang purba (Gambar 2), legenda Bledug Kuwu dan Joko Linglung, legenda Si Tao Toba “Asal Mula Danau Toba”, dan banyak lagi.

Gambar 2. Replika Fosil Tulang dan Gading Stegodon di Museum Patiayam (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Keberadaan mitos-mitos yang dapat dipahami melalui “Geomitologi” menunjukkan bahwa nenek moyang kita di masa lalu sangat memperhatikan proses kebumian. Mereka mencoba terjemahkan dengan pengetahuan yang mereka miliki sehingga cukup “logis” untuk dipahami karena mereka tidak memahami ilmu kebumian dengan baik pada saat itu. Selain itu, mitos yang terkait dengan peristiwa kebumian biasanya menyimpan petuah atau nasihat tentang kemungkinan bencana terjadi di suatu tempat, bagaimana hal itu terjadi di masa lalu, dan cara menghindarinya. Bagian mitigasi ini yang menjadi dasar dari cerita-cerita itu. Dengan adanya cerita-cerita ini, nenek moyang dahulu berharap anak turunnya akan selamat dari bencana. Mitos-mitos juga menginspirasi manusia untuk menjaga kelestarian Bumi sehingga mereka dapat hidup dengan damai di atasnya.

Artikel oleh: Bagaskara Wahyu Purnomo Putra, S.T., M.Eng.